Jumat, 24 Februari 2017

Hijrahku di Berlin

Hijrahku di Berlin.
Oleh Shofiyah Najiyah

Pstt jangan tanya siapa modelnya ehe
Kulangkahkan kaki menyusuri pertokoan Kottbusser Tor. Kurapihkan sedikit hijab yang sudah setahun ini menemani hidupku di Jerman. Kottbusser tor adalah bagian dari Kreuzberg Jerman. Daerah ini banyak ditempati oleh orang turki dan arab. Jadi tidak heran di sebelah kanan dan kiri jalan banyak terdapat kafe-kafe halal.

Kakiku berhenti di depan toko makanan arab. Membaca menu-menu baru di depan toko kebab. Tiba tiba aku mendengar ada yg memberikan salam dari belakang. Reflek aku menjawabnya dan menengok ke belakang.  Seorang ibu-ibu yang sepertinya asal turki menyalami dua perempuan di hadapannya. Rupanya Ibu tersebut hanya menyalami perempuan yang memakai hijab.

"Wo komms du her?"
"Ich komme aus Malaysia." Muka ibu itu terlihat sumringah. Tak hanya disalami, wanita berhijab itu juga hendak dipeluknya.
"Ahh Malaysia. Was machst du?"
"Ich bin eine studierende."

Ibu asal turki tersebut hanya tersenyum dan mengangguk kecil ke arah perempuan yang tidak memakai hijab.
Kejadian tersebut sama persis dengan kejadian yang pernah ku alami. Saat jalan berdua teman yang memakai hijab, mereka, orang-orang turki di Jerman hanya menyalami temanku yang memakai hijab. Mereka tidak memberikan salam kepadaku. Mungkin hal itu tidak akan terjadi, jika waktu itu saya memakai jilbab juga. Karena dia pasti tidak mengetahui jika saya seorang muslim. Betapa indahnya islam. Diberi salam oleh orang-orang yang berbeda negara dengan kami, tapi ternyata kami bersaudara.

Dari Kottbusser Tor aku menaiki U-Bahn menuju jembatan dekat Der Fernsehturm yang dulu sering aku kunjungi.  Berlin di sore hari memang memukau. Dan menikmati matahari terbenam di Jerman diatas jembatan ini adalah hal yang suatu saat nanti akan kurindukan bila tidak tinggal di Jerman lagi. Bagiku jembatan ini adalah jembatan kenangan. Jembatan yang menjadi saksi bisu berakhirnya kisahku dengan seorang mahasiswa kedokteran asal Indonesia yang tinggal di Hamburg.

"Bist du Diana?" Aku mengangguk.
Hari pertama aku mengenakan hijab dihadapan Paulus, ia sedikit terkejut. Diam melihatku dari ujung kaki sampai kepala. Saat itu pertama kalinya aku terserang grogi dan ketakutan yang amat dalam saat bertemu Paulus. Teman dekat yang menemaniku selama tiga tahun tinggal di Jerman kini merasa asing dihadapanku. Selama beberapa menit saat itu kita tenggelam dengan pikiran masing-masing.
"Wie geht es dir?"
"Mir geht es gut Paul."
Aku masih ingat saat itu aku sudah begitu yakin dengan pilihanku.
"Maafin saya ul. Ada banyak hal yang terjadi pada saya yang bikin saya sadar bahwa hidup itu bisa berakhir kapan aja. Dan saya ga bisa menunda keinginan saya lagi untuk berhijrah. Saya gabisa membayangkan hidup saya selanjutnya tanpa datangnya hidayah dari Allah."

Penjelasan saya waktu itu buat Paulus mengerti. Dinding keyakinan kita semakin terlihat jelas berbeda. Paulus menghormati keputusanku. Besar harapannya agar aku tetap bisa mengisi kehidupannya. Namun dengan segenap usahaku, aku menolaknya dengan halus. Senja saat itu terasa begitu sesak dan berbeda. Perpisahan yang menghasilkan pertemanan antara aku dengan Paul sebatas teman seperjuangan dari Indonesia di Jerman.

Sudah genap satu tahun rupanya. Dulu diatas jembatan ini sering kami habiskan waktu bersama. Menikmati senja, menemaninya mengamen dengan gitar kesayangannya atau sekedar menikmati suguhan musik dari pengamen lainnya. Butuh banyak perjuangan dalam menempati pijakan pilihanku yang sekarang. Aku tidak ingin agama yang menjadi keyakinanku hanya sebagai formalitas saat aku terlahir di dunia, saat menikah dan saat aku wafat nanti.

Hidup di Jerman membuatku banyak berpikir. Mendapatkan hidayah untuk berhijab. Meninggalkan Ikhtilat dan menjaga hubungan dengan lawan jenis. Bisa dikatakan bahwa mungkin dengan ketiadaan takdirku di Jerman, aku belum mendapatkan esensi dalam beragama itu sendiri. Menengadah ke langit, aku berharap segala hal yang aku pilih adalah yang sesuai dengan koridorNya. Dan tentu saja berpisah dengan orang yang kita sayangi bukan berarti berhenti mendoakan. Selalu kuselipkan do'a agar Paulus menjalani hidup yang lebih baik dan  diberikan Allah hidayah untuk memeluk apa yang kuyakini.

Terjemahan
Wo komms du her?: Where do you come from?
Ich komme aus Malaysia: i'm from Malaysia
Was machst du?: What do you for living?
Ich bin eine studierend: I'm a student here.
Bist du Diana?: Are you Diana?
Wie geht es dir?: kamu kenapa?
Mir geht es gut: aku baik2 aja kok

I know my germany still making mistakes. I just wanna trying some different chase. Opening suggestion everytime. By the way this flash fiction, i copied from Forsad's website. Auf Wiendersehen :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar